Welcome Note

Perhatianku terhadap kondisi ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini memacu girah hidupku untuk lebih perduli dan berkomitmen dalam rangka memberikan warna manfaat bagi lingkunganku, sehingga lingkunganku dapat dinikmati secara lahir dan batin bagi segenap makhluk hidup yang ada di sekitarnya.

Aku dilahirkan sebagai seorang anak yang tidak mengenal akan rasa rokok, minuman keras ataupun narkoba. Kotaku Bogor merupakan tempatku dilahirkan, dibesarkan, disekolahkan, bekerja dan menimba pengalaman di bidang penelitian dan pengembangan, serta berkeluarga dan meneruskan hidup. Pertama kali sekolah di TK Cempaka Bogor, SDN Papandayan III Bogor, diteruskan di SMP Negeri 3 Bogor dan SMA PGRI 4 Bogor, serta kuliah S1 (Sosial Ekonomi Perikanan) dan S2 (Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika) juga di Institut Pertanian Bogor.

Aku berkiprah sebagai salah seorang Research Associate di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB) sejak tahun 1997 persis satu minggu setelah lulus dari garba ilmiah IPB hingga kini.


Salam Hangat,

Yudi Wahyudin
Research Scientist in Subprogram of Ocean Economic and Policy
Center for Coastal and Marine Resources Studies
Bogor Agricultural University (CCMRS-IPB)
Kampus IPB Baranangsiang Jl. Raya Pajajaran 1 Bogor 16144 INDONESIA
Website : http://pksplipb.or.id/ ; http://indomarine.or.id
Telp. +62-251-8374816,
+62-251-8374820 ; Fax. +62-251-8374726 ; Phone. +628121100090

-----------------------------------------------------------------
View my research on my SSRN Author page:
http://ssrn.com/author=1533290
-----------------------------------------------------------------
View my blog:
http://komitmenku.wordpress.com
http://yudiwahyudin.blogspot.com
-----------------------------------------------------------------

Sub Program Kebijakan dan Ekonomi Kelautan
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB)

Kampus IPB Baranangsiang Jl. Raya Pajajaran 1 Bogor 16144 INDONESIA
Website : http://pksplipb.or.id/ ; http://indomarine.or.id
Telp. +62-251-8374816,
+62-251-8374820 ; Fax. +62-251-8374726 ; Phone. +628121100090

Saturday, February 14, 2009

Kerinduan

Malam kian larut mencekam kelam
Alunan musik alam terdengar sayup di kejauhan
Halusinasiku mulai menjalari sekujur tubuh
Iringi kegalauan hatiku yang sedang menerawang
Fiksi bisu mulai terangkum dalam relung hati
Alam bawah sadarku mulai mengukir cerita dalam kalbu, dan akhirnya
Lembar demi lembar pun terangkai jua cerminkan keadaan hatiku yang sedang merindu


Kenangan : Bahasa Cinta
Bogor, 29.03.1997

Do'aku

Ya Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Untuk-Mu kuserahkan segala sesuatu yang kumiliki
Dan atas kemurahan Engkau pulalah semua yang kuinginkan menjadi kenyataan, maka
Isilah setiap detik-detik kehidupanku dengan limpahan berkah-Mu

Wahai Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana
Amanatkanlah kepadaku sebuah tugas hidup yang hakiki
Hanya Engkaulah yang berhak mengatur suratan takdirku

Ya Allah hanya Engkaulah yang kusembah dan hanya kepada Engkau pulalah aku meminta pertolongan
Usiaku kini di dunia fana ini kian memendek, Ya Allah
Dan aku sadar bahwa aku telah banyak melalaikan-Mu, maka
Ijinkanlah aku untuk lebih memperhatikan-Mu, Ya Allah
Niatku di sisa kehidupanku semoga selalu mendapat ridho-Mu, Ya Allah, Amien.



Kenangan : Bahasa Kalbu
Bogor, 26.03.1997

Cita yang terpendam terbuka terang

Mentari pagi menyeruak keluar dari kungkungan kegelapan
Amanah hati yang demikian dalam, kalahkan keraguan
Hamparan cahaya kehidupan memercik indah dalam kalbu
Iringi niatan hati yang semakin mendalam
Fakta nyata mutlak tercermin dalam setiap tindakan
Angan-angan lama melayang kian mendekati cita yang diharapkan, dan
Lentera itu, akhirnya mampu menerobos celah-celah bahtera kehidupan


Kenangan : Bahasa Cinta
Bogor, 26.03.1997

Saturday, February 07, 2009

Menggagas Solusi Dampak Perubahan Harga BBM terhadap Aktivitas Nelayan



Oleh:

YUDI WAHYUDIN
Direktur Institute for Applied Sustainable Development (IASD)


Sektor kelautan dan perikanan dalam kurun waktu sewindu terakhir ini telah menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional dan diharapkan dapat menjadi prime mover pertumbuhan ekonomi nasional. Beberapa program pembangunan kelautan dan perikanan telah diupayakan, diantaranya melalui program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, gerbang mina bahari, sampai pada program revitalisasi kelautan dan perikanan.

Perikanan merupakan tulang punggung pertama pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia. Sektor ini selain memberikan kontribusi paling besar terhadap pembangunan wilayah pesisir, di lain sisi juga mampu menyerap banyak tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja terbesar diberikan oleh kegiatan perikanan tangkap, baik pada skala subsisten maupun industri. Penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 250 juta jiwa, 60 persen diantaranya tinggal di wilayah pesisir dan 90 persen penduduk yang tinggal di wilayah pesisir bergerak dan berusaha di sektor perikanan. Oleh karena itu, peran pemerintah sebagai service provider dan service arranger harus lebih dioptimalkan dan memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat pesisir di Indonesia.

Pengembangan perikanan yang telah berjalan selama ini seyogyanya memerlukan suatu kebijakan pengelolaan yang tepat dan sesuai dengan karakteristik sumberdaya perikanan itu sendiri, seperti daerah penangkapan, jenis sumberdaya ikan serta keragaman pelaku bisnis perikanan dan armada penangkapan ikan di wilayah Indonesia. Selama ini pemanfaatan sumberdaya ikan yang dilakukan oleh sebagian besar nelayan lebih ditekankan pada kepentingan jangka pendek dengan besaran manfaat yang tidak terlalu besar dibandingkan dengan nilai jangka panjang.

Umumnya nelayan berlomba-lomba untuk dapat menangkap ikan lebih banyak (high volume) agar dapat memperoleh manfaat yang lebih besar, sehingga menstimulasi adanya upaya peningkatan teknologi penangkapan. Di sisi lain, nelayan yang menangkap ikan semakin bertambah jumlahnya, sehingga semakin menstimulasi munculnya persaingan dalam mendapatkan hasil tangkapan. Dampaknya tekanan terhadap sumberdaya ikan semakin besar, sehingga menimbulkan degradasi sumberdaya ikan secara besar-besaran. Fenomena ini terjadi di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Perairan Laut Jawa dan Selat Sundang serta Perairan Selat Malaka. Di kedua wilayah perairan ini diduga telah mengalami lebih tangkap (over-fishing) yang salah satunya diduga akibat semakin banyaknya nelayan yang menangkap ikan di perairan ini.

Berkembangnya aktivitas penangkapan ikan di perairan Indonesia memberikan stimulans kepada pada investor perikanan, baik pada industri perikanan skala kecil, menengah maupun besar. Perkembangan investasi perikanan semakin membuka peluang penyerapan tenaga kerja, sehingga memudahkan pemerintah untuk menurunkan tingkat pengangguran di Indonesia. Berkembangnya sektor ini juga memberikan stimulans kepada investor lain untuk membuka peluang investasi di bidang sarana dan prasarana produksi seperti perdagangan perlengkapan melaut, industri perkapalan, pengolahan, dan sebagainya, termasuk penyediaan bahan bakar minyak.

Investasi dalam penyediaan BBM merupakan salah satu investasi turunan dari perkembangan perikanan tangkap. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50 persen dari biaya ekstraksi per unit upaya adalah biaya yang dikeluarkan untuk BBM, sehingga dapat dibayangkan berapa besar pengeluaran nelayan yang harus disiapkan untuk penyediaan kebutuhan BBM ini. Sebagai ilustrasi, jika rata-rata nelayan Jawa Barat menggunakan bahan bakar minyak sebanyak 5 liter saja per kali upaya, sedangkan jumlah armada perikanan di wilayah ini mencapai 3.000 unit dengan tingkat upaya per tahun rata-rata sebanyak 160 unit upaya, maka kebutuhan BBM selama setahun di Jawa Barat dapat mencapai 2.400.000 liter atau sebanyak 200.000 liter per bulan atau sekitar 6.666,67 liter per hari.

Ironisnya, harga BBM pernah mengalami kenaikan hingga berlipat-lipat, kendati kemudian turun kembali. Dampak kenaikan BBM sangat luar biasa, karena kenaikan ini sangat memukul investasi perikanan, terlebih industri perikanan skala kecil. Naiknya harga BBM berkorelasi positif terhadap peningkatan biaya ekstraksi per unit upaya. Selain itu, kenaikan harga BBM ini juga menstimulans harga barang-barang olahan dan alat-alat penangkapan untuk naik. Akibatnya, biaya ekstaksi per unit upaya menjadi semakin membengkak. Bengkaknya biaya ekstraksi ini tidak dibarengi dengan kenaikan harga dan volume tangkapan ikan, sehingga dapatlah dibayangkan berapa rupiah yang dapat diperoleh nelayan untuk dibawa ke rumah dan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka. Selain itu, bukan tidak mungkin nelayan yang mempunyai keterbatasan modal terancam tidak melaut atau bahkan gulung tikar.

Hilangnya kesempatan melaut dan berhentinya usaha perikanan memberikan dampak terhadap munculnya peningkatan pengangguran dan kemiskinan, terutama keluarga nelayan. Akibatnya, ancaman munculnya kerawanan pangan dan kerawanan sosial menjadi lebih terbuka. Ancaman ini seyogyanya diantisipasi oleh pihak terkait. Di sinilah peran pemerintah selaku institusi formal untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam rangka menanggulangi permasalahan yang ada. Pemerintah seyogyanya menyiapkan beberapa instrumen solusi dampak kenaikan BBM bagi aktivitas nelayan. Dalam hal ini, penulis menyarankan beberapa langkah yang sedianya dilakukan oleh pemerintah untuk membuat instrumen solusi tersebut.

Pertama, mengidentifikasi sentra-sentra produksi perikanan yang terkena dampak perubahan harga BBM. Identifikasi ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana, kenaikan BBM berdampak pada produksi perikanan, karena produksi sangat berkaitan dengan input produksi yang dilakukan, seperti tingkat upaya dan biaya ekstraksi. Seperti telah disampaikan, bahwa besarnya biaya input produksi dari faktor BBM adalah sebesar 50 persen ditambah dampak turunan terhadap penyediaan ransum yang biasanya juga berkorelasi positif dengan kenaikan harga BBM. Hasil identifikasi dapat digunakan sebagai bahan instrumen solusi darimana pemerintah harus memulai penanggulangan dampak ini.

Kedua, mengidentifikasi peluang-peluang usaha alternatif yang dapat diadopsi masyarakat nelayan. Identifikasi ini dilakukan untuk mengetahui adakah peluang usaha lain yang dapat dilakukan jika hanya jika aktivitas perikanan yang diusahakan sudah tidak memungkinkan lagi akibat tinggi biaya input produksi (high cost) dan menyebabkan in-efficiency usaha. Peluang usaha alternatif harus dirancang dengan tidak menimbulkan permasalahan baru, sehingga perlu dikaji secara komprehensif dari mulai kajian aspek produksi, pasca produksi, distribusi dan pemasaran hasil produksinya.

Ketiga, menyusun rencana aksi penanggulangan dampak kenaikan BBM terdapat aktivitas nelayan secara aspiratif. Rencana aksi harus disusun berdasarkan skema jangka pendek (crash program) dan jangka panjang. Skema jangka pendek diberikan agar masyarakat nelayan dapat segera keluar dari permasalahan dasar yang melilitnya sekarang, yaitu tidak bisa melaut, tidak ada nafkah, terancam pangan dan rawan sosial. Sepertinya, skema ini telah diangkat secara nasional melalui pembagian dana kompensasi BBM, kendati masih banyak persoalan yang timbul kemudian akibat proses penentuan sasarannya tidak transparan dan terkesan pilih kasih. Skema jangka panjang disusun untuk menghasilkan program yang lebih mendidik dan mengantarkan nelayan menjadi lebih suitable terhadap berbagai persoalan ke depan seperti halnya kenaikan BBM ini. Program alih profesi atau alih teknologi dapat menjadi salah satu model yang dapat diadopsi dalam skema jangka panjang ini. Alih profesi diperuntukkan bagi nelayan yang memang tidak mampu keluar dari persoalan pada tataran skema jangka pendek, sedangkan alih teknologi diperuntukkan bagi nelayan yang mulai bangkit melalui skema jangka pendek kendati masih terseok-seok. Dalam hal ini, pemerintah harus bisa mencari alternatif teknologi penangkapan yang efisien tetapi tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya ikan. Efisien dalam hal ini lebih ditekankan pada aspek biaya input produksi (cost of extraction per unit effort).

Penyusunan dan pelaksanaan rencana aksi harus dilakukan secara aspiratif dan partisipatif. Hal ini dilakukan agar terbangun rasa memiliki (sense of belonging) nelayan terhadap kegiatan disamping kegiatannya menjadi lebih adaptif dan mengena pada sasaran. Pembangunan image nelayan ini harus dimulai sejak awal melalui beragam pelibatan nelayan dalam setiap kegiatan secara sekuensial, seperti pada kegiatan persiapan, pelaksanaan, monitoring sampai evaluasi kegiatan. Metode pelaksanaan kegiatan yang digunakan seyogyanya dilakukan melalui sosialisasi dan partisipasi aktif nelayan serta didukung oleh pemberian stimulans kegiatan yang diarahkan pada kemandirian program serta monitoring dan evaluasi yang juga melibatkan partisipasi aktif nelayan.

Pada bagian penutup tulisan ini, sekali lagi penulis sampaikan bahwa kenaikan harga BBM sangat besar dampaknya terhadap sektor perikanan, khususnya perikanan tangkap. Bahkan pada tataran tertentu dapat membunuh aktivitas nelayan dan menimbulkan kerawanan pangan dan sosial. Oleh karena itu, pemerintah harus mengambil peran dan bekerja lebih ekstra melalui berbagai instrumen solusi. Dalam hal ini penulis menyarankan tiga hal dalam rangka penyusunan instrumen, yaitu (i) melakukan identifikasi sentra produksi perikanan, (ii) identifikasi peluang usaha alternatif dan (iii) menyusun rencana aksi penanggulangan dampak secara terpadu dan aspiratif. Kunci keberhasilan pelaksanaan rencana aksi adalah pelibatan masyarakat dalam setiap kegiatan.

Institute for Applied Sustainable Development (IASD)
Jl. Bhayangkara I No.26, Sindangbarang, Bogor-16117, INDONESIA
Telp. 0062 251 8422735
Fax. 0062 251 8422735
HP. 0062 812 11000 90





Menyoal Pengembangan Produk Perikanan Spesifik Daerah


Oleh:
Yudi Wahyudin
Direktur Institute for Applied Susnainable Development (IASD)


Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dewasa ini telah, sedang dan akan terus berupaya untuk mengembangkan wilayah pesisir, terutama desa-desa pesisir melalui program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Namun demikian, upaya ini masih harus terus disempurnakan karena masih banyak yang dilakukan hanya untuk mengejar target program saja. Misalnya saja, pada beberapa daerah yang ada program PEMP-nya disinyalir menemui kegagalan yang disebabkan oleh kurang siapnya pendamping pekerjaan dalam melakukan tugas dan kewajibannya.

Sejalan dengan misi DKP untuk mengembangkan desa-desa pesisir, maka penulis berharap dapat urun saran kepada DKP selaku institusi formal agar dalam pengembangan desa-desa pesisir ini diawali terlebih dahulu dengan mengkaji secara holistik desa-desa pesisir yang akan dikembangkan berdasarkan keadaan potensi, isu dan permasalahan yang ada (SDA, SDM, Insfrastruktur, Sosekbud, dan sebagainya).

Dalam program pengembangan desa-desa pesisir seyogyanya seluruh komponen tersebut diidentifikasi saling terkait dalam rangka mendukung proses pengkajian present condition, sehingga kebijakan, strategi dan program pembangunan yang akan diterapkan seoptimal mungkin dapat menekan bias informasi yang mungkin dapat ditimbulkan.

Adalah suatu upaya yang bijaksana bilamana dalam rangka pembangunan dan pengembangan desa-desa di kawasan pesisir, diawali dengan melakukan proses pengkajian terhadap potensi-potensi dasar yang ada dan dimiliki oleh desa-desa pesisir tersebut. Hal ini penting untuk dilakukan agar fungsi-fungsi dasar kawasan pesisir, seperti (i) mendukung kegiatan sebagai sumber kehidupan; (ii) keindahan dengan keramahan; (iii) sumber bahan baku, dan (iv) penampungan limbah; benar-benar memberikan arti yang sebenarnya bagi nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir lainnya. Sehingga, upaya pengelolaannya dapat dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan.

Tujuan dasar identifikasi potensi pengembangan desa-desa pesisir adalah untuk mengetahui tingkat sosial ekonomi masyarakat, kondisi sosial budaya, keadaan lingkungan, sumber-sumber pendapatan, kelembagaan serta prasarana dan sarana pendukung ekonomi masyarakat di kawasan pesisir. Tujuan dan upaya tersebut lebih merupakan suatu upaya pengkajian yang mengarah kepada upaya untuk melihat potensi, isu dan permasalahan dasar yang terdapat di masing-masing desa pesisir, sehingga dapat diidentifikasi kelebihan, kelemahan, peluang dan ancamannya.

Hasil dari identifikasi tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan arah kebijakan pemerintah dalam melakukan fungsi pengawasan dan penataan pembangunan ekonomi di kawasan pesisir. Pelaksanaan fungsi dan penataan tersebut dilakukan melalui pendekatan pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan dan ekologi yang berbasis pada partisipasi masyarakat. Pada gilirannya diharapkan akan menuntun penentu kebijakan (decision maker) untuk membuat arah kebijakan, strategi dan pengembangan program yang sesuai dengan kondisi terkini masyarakat pesisir di masa mendatang.

Identifikasi potensi pengembangan desa-desa pesisir, menurut hemat penulis akan lebih efektif bilamana dilakukan dengan menggunakan pendekatan PRA (participatory rural appraisal) yang dikombinasikan dengan RRA (rapid rural appraisal). PRA adalah salah satu metode pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan informasi yang optimal secara partisipatif. Dalam hal ini teknik penggalian informasinya dapat dilakukan dengan menggunakan metode Androgogi, yaitu sebuah metode penggalian informasi yang didekati melalui teknik perencanaan yang dipetakan secara bersama (meta-plan) oleh peserta forum.

Sedangkan RRA adalah salah satu metode pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan informasi secara cepat dengan melihat secara visual dan berdasarkan professional judgment dari orang yang melakukan penggalian informasi dengan metode ini. Tentunya, penggalian informasi dengan dua metode tersebut harus didukung dengan data dan informasi ilmiah dalam rangka melihat secara holistik keuntungan dan kerugian secara ekonomi dan ekologi dari kegiatan yang akan dilakukan.

Di Oita – Jepang, telah dikembangkan suatu upaya pengembangan desa dengan melihat faktor kekuatan lokal (local strengthen development) sebagai basis pengembangan. Hal ini dapat diindikasikan bahwa upaya pengembangan desa dilakukan dengan melihat prioritas utama dari sekian kekuatan yang dimiliki sendiri oleh sebuah desa (local strengthen) untuk membangun desa itu sendiri. Dimana dalam penerapannya, setiap desa di Jepang, diwajibkan untuk memilih salah satu produk yang akan dijadikan sebagai komoditi unggulan desanya. Istilahnya adalah one village for one product, artinya bahwa satu desa akan menghasilkan satu produk yang menjadi komoditi unggulan dari desa tersebut.

Jika dicermati secara singkat, adalah bukan sesuatu hal yang mustahil bilamana apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Oita – Jepang juga dapat diterapkan di Indonesia. Seperti yang telah diketahui bersama bahwa komoditas utama dari desa-desa pesisir biasanya berupa produk hasil perikanan. Oleh karena itu, bisa saja produk unggulan dari desa tersebut berupa produk olahan hasil perikanan.

Namun demikian, untuk kasus pesisir Indonesia, bisa saja cakupan wilayah pengembangannya diperluas dari cakupan desa menjadi cakupan daerah (kabupaten/kota) atau bahwa tingkat regional (lebih dari satu kabupaten/kota). Hanya tetap saja prinsip model pengembangannya sama yaitu satu wilayah untuk satu produk (one region for one product). Misalnya saja, kita mengenal dengan familiar bahwa “teri medan” merupakan salah satu produk andalan dari daerah Sumatera Utara, “pindang bandeng Kal-Tim” merupakan salah satu produk unggulan daerah Kalimantan Timur, “mutiara” merupakan salah satu produk unggulan dari daerah-daerah di wilayah Indonesia bagian timur, dan sebagainya.

Adalah bukan sebuah keniscayaan bilamana suatu kegiatan atau program atau apa saja benar-benar datang dari buah pemikiran atau usulan masyarakat, maka kegiatan/program tersebut akan dapat berjalan dengan baik. Minimal masyarakat mempunyai kerelaan untuk melakukan kegiatan tersebut karena kegiatan/program tersebut diusulkan sendiri oleh masyarakat. Dalam hal ini rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat terhadap kegiatan/program tersebut akan signifikan terlihat.

Selama ini, bilamana masyarakat kurang perduli dengan beragam macam program pemerintah adalah lebih disebabkan oleh kurangnya rasa memiliki. Hal ini lebih dikarenakan program pemerintah tersebut hanya bersifat sementara dan tidak dibarengi dukungan lain seperti misalnya pemberian pelatihan-pelatihan yang secara optimal dapat mendukung keberlangsungan program, baik pelatihan teknis, manajerial, keuangan, pemasaran, dan sebagainya. Sehingga terjadi fenomena bahwa program hanya berlangsung seiring dengan masih berjalannya suatu proyek, sehingga suatu ketika bilamana waktu pelaksanaan proyek selesai, maka program tersebut juga akan berhenti dengan sendirinya.

Oleh karena itu, dalam rangka menjaga keberlangsungan suatu program, maka seoptimal mungkin bahwa program tersebut harus diarahkan datang dari masyarakat yang dikuatkan secara ilmiah dengan melihat keuntungan dan kerugiaan secara ekonomi dan ekologi. Selain dibarengi dengan pelatihan-pelatihan yang mendukung keberlangsungan program, penting pula dilakukan pengawasan (monitoring) yang terprogram dalam pelaksanaan action plan serta program kerja yang berkelanjutan dan tidak setengah-setengah.

Apa yang dicitakan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan selaku instansi pemerintah yang bergerak di bidang perikanan dan kelautan, untuk membangun dan mengembangkan sektor ini adalah suatu hal yang patut dihargai dan diberikan respon positif berupa dukungan partnership dari berbagai lembaga, baik lembaga pemerintah maupun non pemerintah.

Walaupun konsep dan implementasi program ini masih belum menunjukkan arah yang adaptif bagi nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir lainnya. Namun sebagai sebuah program nasional, hal ini perlu dicermati dan diarahkan agar dapat berhasil dan bernilai guna. Oleh karena itu, sekali lagi penulis berharap pengalaman Oita – Jepang dapat menjadi masukan penting bagi para pembuat keputusan (decision maker) untuk secara bersama membangun dan mengembangkan sektor kelautan sebagai salah satu prime mover pembangunan nasional.



Institute for Applied Sustainable Development (IASD)
Jl. Bhayangkara I No.26, Sindangbarang, Bogor-16117, INDONESIA
Telp. 0062 251 8422735
Fax. 0062 251 8422735
HP. 0062 812 11000 90

Friday, February 06, 2009

Pengembangan SDM Berbasis Kebutuhan Masyarakat

Rendahnya pendidikan SDM petani, pekebun dan nelayan acap kali menjadi kambing hitam gagalnya rakyat mengadopsi teknologi yang diperkenalkan penyuluh dan atau pembina comdev (community development) kepada masyarakat.  Rakyat terus didesak untuk dapat meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya melalui berbagai jenjang pendidikan.  Bahkan begitu banyak model penguatan kapasitas dan kapabilitas dilakukan sebagai jembatan atas jurang pemisah antara teknologi dan kapasitas SDM rakyat dalam upaya mewujudkan masyarakat yang siap mengadopsi teknologi yang diintroduksi kepada rakyat.

Apa yang harus dilakukan saat ini seyogianya didasarkan atas kebutuhan dan hajat hidup rakyat banyak.  Oleh karena itu, desain strategi implementasi pengembangan SDM seoptimal mungkin harus didasarkan atas partisipasi, kompetensi dan kebutuhan riil masyarakat.


Yudi Wahyudin, SPi., MSi.
Director
Institute for Applied Sustainable Development (IASD)
Jl. Bhayangkara I No.26, Sindangbarang, Bogor-16117, INDONESIA
Telp. 0062 251 8422735
Fax. 0062 251 8422735
HP. 0062 812 11000 90

Monday, February 02, 2009

Global Fisheries Resources and Management


Fisheries Resources

As known, a fishery is renewable resources, which is available in the natur and also some view of them has already developed by human through culturing. Fisheries use natural resources and other resources as raw material on which the sector depends. Renewable resources include aquatic species, land and water. Other resources are artificialy generated, such as hatchery-produces seeds, feeds and fertilizers.

Fishery, which is relating to the natural resources are an integrated effort by humans to catch fish or other aquatic species. In this case, the activity is known as fishing. Generally, the fishery activity exists because of human need to get food or another purposed, such as sport or recreational fishing, or obtaining ornamental fish or fish products such as for oil fish. Industrial fisheries, for example, they do fisheries activities, but the catch that they are doing is not only for direct human consumption, but also for oil, medicin, powder and so on.

Fisheries resources are divided by two different resources, such as capture and aquaculture fisheries resources. Capture fisheries resources are usually considerated, used and managed on a stock-by-stock basis. There are impacted by fisher as well as other polluting and degrading economic activities. Meanwhile aquaculture resources comprise a wide variety of animal and plant species such as finfish, shrimp, prawns and crabs, clams, oysters and mussels as well as seaweeds and other aquatic plants for both use and productions.

Most of fisheries are marine resources, rather than freshwater resources and most of marine fisheries are based near to the coastal area, because fish are much more abundant near to the coastal shelf and in shallow water, due to in this area are much more aboundant the availability of nutrients. Sothat, most of harvesting activities (fishing) is much more operation in the coastal area and also because of harvesting in shallow waters is easier than in the open ocean (high sea). There are large and important fisheries worldwide for various species of fish, molluks and crustaceans. There are large and important fisheries worldwide for various species of fish, mollusks and crustaceans. However, a very small number of species support the majority of the world’s fisheries. Some of these species are herring, cod, anchovy, tuna, flounder, mullet, squid, shrimp, salmon, crab, lobster, oyster and scallops.

Fisheries are one of the important sources to provide world population’s protein and most of people living in the coastal area are heavily depending to the fisheries activities, especially in some developing countries. In this case, fisheries have been bigger and bigger business and help especially coastal communities to provide their own income. 60 procent people live near to the coastal areas and more than 80 procent of them do fisheries as their livelihood.

Fisheries industries are not only important source of their people’s income generation for developing countries, such as Peru, Indonesia, Chile, India, and Thailand. Developed countries, such as China, USA, Japan, Russia, and Norway are also providing their income from this sector. The total production from those countries, such as China, Peru, USA, Indonesia, Japan, Chile, India, Russia, Thailand and Norway accounted for more than half of the world's production.

According to data from Food and Agriculture Organization of the United Nations, in 2002 the global production from fishing and aquaculture reached about 133 million tonnes (FAO 2004). The top ten producer countries for marine and inland capture fisheries are China (16,6 Mio tonnes), Peru (8,8 Mio), USA (4,9 Mio), Indonesia (4,5 Mio), Japan (4,4 Mio), Chile (4,3 Mio), India (3,8 Mio), Russia (3,2 Mio), Thailand (2,9 Mio) and Norway (2,7 Mio).

Important issues and topics in fisheries

Considering the importance of fisheries, and that they depend on a natural resource, it is no surprise that there are many pressing environmental issues surrounding them. These can be classed into issues that involve the availability of fish to be caught, such as overfishing, sustainable fisheries, and fisheries management; and issues surrounding the impact of fishing on the environment, such as by-catch. These fishery conservation issues are generally considered part of marine conservation, and many of these issues are addressed in fisheries science programs.

They are also, however, controversial. There is an apparent and growing disparity between the availability of fish to be caught and humanity’s desire to catch them, a problem that is exacerbated by the rapidly growing world populations. As with some other environmental issues, often the people engaged in the activity of fishing – the fishers – and the scientist who study fisheries science, who are often acting as fishery managers, are in conflict with each other, as the dictates of economics mean that fishers have to keep fishing for their livelihood, but the dictates of sustainable sciences mean that some fisheries must close or reduce to protect the health of the population of the fish themselves. It is starting to be realized, however, that these two camps must work together to ensure fishery health through the 21st century and beyond.

Methods

Fishing techniques

Fishing methods vary according to the region, the species being fished for, and the amount of income and technology available to the fisher. A fishery can consist of one man with a small boat hand-casting nets, to a huge fleet of trawlers processing tons of fish per day. Some common commercial techniques today are trawling, seining, driftnetting, handlining, longlining, gillnetting and diving.

Fishing is the activity of hunting for fish. By extension, the term fishing is also applied to hunting for other aquatic animals such as various types of shellfish as well as squid, octopus, turtles, frogs and some edible marine invertebrates. The term fishing is not usually applied to the hunting of aquatic mammals such as whales. Fishing is an ancient and worldwide practice with various techniques and traditions and it has been transformed by modern technological developments. It has even became a sport of some account.

There are several traditinal techniques for fishing that has been used by human to get fish. Those techniques are:

(i) Hand fishing

With this technique, it is possible to fish with minimal equipment by using only the hands. In the USA catching catfish in this way is known as noodling. Divers can catch lobsters by hand. Pearl diving is the practice of hunting for oysters by free-diving to depths of up to 30 m. Hand-line fishing is a technique requiring a fishing line with a weight and one or more lure-like hooks.

(ii) Spear and bow fishing

Spear fishing is an ancient method of fishing and may be conducted with an ordinary spear. Traditional spear fishing is restricted to shallow waters, but the development of the speargun has made the method much more efficient. With practice, divers are able to hold their breath for up to four minutes and sometimes longer; of course, a diver with underwater breathing equipment can dive for much longer periods. Bow fishers use a bow and arrow to kill fish in shallow water from above.

(iii) Fishing nets

All fishing nets are meshes usually formed by knotting a relatively thin thread. Modern nets are usually made of artificial polyamides like nylon, although nets of organic polyamides such as wool or silk thread were common until recently and are still used in certain areas.

A small hand net held open by a hoop and possibly on the end of a long stiff handle has been known since antiquity and may be used for sweeping up fish near the water surface. Such a net used by an angler to aid in landing a captured fish is known as a landing net.

A casting net is circular with a weighted periphery. Sizes vary up to about 4 m diameter. The net is thrown by hand in such a manner that it spreads out on the water and sinks. Fish are caught as the net is hauled back in.

Coracle-fishing is performed by two men, each seated in his coracle and with one hand holding the net while, with the other, he plies his paddle. When a fish is caught, each hauls up his end of the net until the two coracles are brought to touch and the fish is then secured.

A seine is a large fishing net that may be arranged in a number of different ways. In purse seine fishing the net hangs vertically in the water by attaching weights along the bottom edge and floats along the top. A simple and commonly used fishing technique is beach seining, where the seine net is operated from the shore. Danish seine is a method which has some similarities with trawling.

Trawling is a method of fishing that involves actively pulling a fishing net through the water behind one or more boats.

A gillnet catches fish which try to pass through it by snagging on the gill covers. Thus trapped, the fish can neither advance through the net nor retreat.

Ghost nets are nets that have been lost at sea. They may continue to be a menace to wildlife for many years.

(iv) Dredging

There are types of dredges used for collecting scalops or oysters from the seabed. They tend to have the form of a scoop made of chain mesh and they are towed by a fishing boat. Scallop dredging is very destructive to the seabed, and nowadays is often replaced by mariculture or by scuba diving to collect the scallops.

(v) Fishing lines

Fish are caught with a fishing line by encouraging a fish to bite upon a fish hook or a gorge. A fishing hook will pierce the mouthparts of a fish and may be barbed to make escape less likely. A gorge is buried in the bait such that it would be swallowed end first. The tightening of the line would fix it cross-wise in the quarry's stomach or gullet and so the capture would be assured.

Fishing with a hook and line is called angling. In addition to the use of the hook and line used to catch a fish, a heavy fish may be landed by using a landing net or a hooked pole called a graff.

Trolling is a technique in which a fishing lure on a line is drawn through the water. Trolling from a moving boat is a technique of big-game fishing and is used when fishing from boats to catch large open-water species such as tuna and marlin. Trolling is also a freshwater angling technique most often used to catch trout. Trolling is also an effective way to catch northern pike in the great lakes. This technique allows anglers to cover a large body of water in a short time.

Long-line fishing is a commercial fishing technique that uses hundreds or even thousands of baited hooks hanging from a single line.

Snagging is a technique where the object is to hook the fish in the body. Generally, a large treble hook with a heavy sinker is cast into a river containing a large amount of fish, such as a Salmon, and is quickly jerked and reeled in. Due to the often illegal nature of this method some practitioners have added methods to disguise the practice, such as adding bait or reducing the jerking motion.

(vi) Kite fishing

Kite fishing is presumed to have been first invented in China. It was, and is, also used by the people of New Guinea and other Pacific Islands - either by cultural diffusion from China or independent invention.

Kites can provide the boatless fishermen access to waters that would otherwise be available only to boats. Similarly, for boat owners, kites provide a way to fish in areas where it is not safe to navigate such as shallows or coral reefs where fish may be plentiful. Kites can also be used for trolling a lure through the water.

Suitable kites may be of very simple construction. Those of Tobi Island are a large leaf stiffened by the ribs of the fronds of the coconut palm. The fishing line may be made from coconut fibre and the lure made from spiders webs.

Modern kitefishing is popular in New Zealand, where large delta kites of synthetic materials are used to fish from beaches, taking a line and hooks far out past the breakers.

(vii) Ice fishing

Ice fishing is the practice of catching fish with lines and hooks through an opening in the ice on a frozen body of water. It is practised by hunter-gatherers such as the Inuit and by anglers in other cold or continental climates.

(viii) Fish traps

Traps are culturally almost universal and seem to have been independently invented many times. There are essentially two types of trap, a permanent or semi-permanent structure placed in a river or tidal area and pot-traps that are baited to attract prey and periodically lifted.

(ix) Trained animals

This technique uses animal to help fishermen to fish. This technique used to be used by some fishermen in China and Japan for example. They trained cormorant to fish. Fishermen use the natural fish-hunting instincts of the cormorants to catch fish, but a metal ring placed round the bird's neck prevents large, valuable fish being swallowed. The fish are instead collected by the fisherman. The people of Nauru for other example used trained frigatebirds to fish on reefs.

(x) Toxins

Many hunter gatherer cultures use poisonous plants to stun fish so that they become easy to collect by hand. Some of these poisons paralyse the fish, others are thought to work by removing oxygen from the water.

Cyanides are used to capture live fish near coral reefs for the aquarium and seafood market. This illegal fishing occurs mainly in or near the Philippines, Indonesia, and the Caribbean to supply the 2 million marine aquarium owners in the world. Many fish caught in this fashion die either immediately or in shipping. Those that survive often die from shock or from massive digestive damage. The high concentrations of cyanide on reefs harvested in this fashion damages the coral polyps and has also resulted in cases of cyanide poisoning among local fishermen and their families.

(xi) Explosives

Dynamite or blast fishing, is done easily and cheaply with dynamite or homemade bombs made from locally available materials. Fish are killed by the shock from the blast and are then skimmed from the surface or collected from the bottom. The explosions indiscriminately kill large numbers of fish and other marine organisms in the vicinity and can damage or destroy the physical environment. Explosions are particularly harmful to coral reefs. Blast fishing is also illegal in many waterways around the world.

(xii) Electrofishing

A relatively new fishing technique is electrofishing, typically used for stream classification surveys and catching brood stock for hatcheries, or making estimates of populations in a body of water. A gated pulse of direct current is used to cause muscular contractions in a fish, called galvanotaxis, causing them to turn towards the source of the electrical current and swim towards it when correct pulse speeds and durations are used, along with correct current.

A low voltage or short pulse with long gaps will cause the fish to swim away from the device, and high voltage or long pulses with short rests can cause galvanonarcosis, or unconsciousness. Techniques for setting pulse length and patterns, current and voltage require great skill to fish effectively without killing or injuring fish if they are to be left unharmed. Dissolved minerals in the water can decrease resistance causing less of the current to pass through the fish, whereas fish recently entering fresh water from the ocean have high salinity and are more prone to electric shock. Also the smaller the fish, and consequently the less surface area in contact with the water, the higher the current required to produce galvanotaxis. Smaller fish also require shorter pulses, closer together, while large fish should have longer pulses at lower power and longer gaps between pulses.

Rigs can be battery powered back-packs or powered by a generator if they are mounted in a boat. They are typically equipped with a "dead-man switch" and a tilt switch to disable the device if the unit is tipped or the operator incapacitated. Protective equipment must be worn to isolate the operator and prevent electrocution.

Electro-fishing is also used to illegally catch Razorfish or Spoots, using a boat based generator. Current is passed into the sediment causing the Razorfish to 'jump' and be harvested by divers. For obvious reasons this method of electro-fishing is banned due to the risk to the divers.

Culture technique

Aquaculture methods also vary according to the types of culturing and also the amount of financial and technology available to the fish farmer. A fishery in this sub sector can of one man with a couple meter squares of ponds that cultured some spesific species of fish or more, to grow them and produce tons of fish per four or more months.

There are some methods related with aquaculture, such as seedling, breeding, hatchery, and growing. A few of technique for culturing fish are such as caging, pond, floating cage, aquarium, etc.

Fish processing

Ancient methods of preserving fish included drying, salting, pickling and smoking. All of these techniques are still used today but the more modern techniques of freezing and caning have taken on a large importance.

In the past, fishing vessels were restricted in range by the simple consideration that the catch must be returned to port before it spoils and becomes worthless. The development of refrigenation and freezing technologies transformed the commercial fishing industry: fishing vessels could be larger, spending more time away from port and therefore accessing fish stocks at a much greater distance.

Refrigeration and freezing also allow the catch to be distributed to markets further inland, reaching customers who previously would have had access only to dried or salted sea fish.

Fish products

Food

The flesh of many fish are primarily valued as a source of food; there are many edible species of fish as well as other sea food. Shellfish include shelled mollusc anc crustaceans used a food. Shelled molluscs include the clam, mussel, oyster, winkle and scallop, some crustaceans are shrimp, lobster, crayfish and crab.

Eggs, called roe, of various species may be eaten; roe comes from fish and certain marine invertebrates, such as sea urchins and shrimp. In some cultures, roe is considered a delicacy, for example caviar from the sturgeon. Squid and octopus are valued as food. Sea cucumber is considered a delicacy in Chinese cooking and is often served at New Year’s feasts, usually in soups. In some cultures, for example China, Japan, and Vietnam, certain species of jellyfish are consumed. Fish oil is valued as a dietary supplement.

Live fish

Live fish are collected for the international live food fish trade. Some seafood restaurants keep live fish in aquaria for display or for cultural beliefs. The majority of live fish kept at seafood restaurants, however, are desired for the freshness of the seafood, being killed only immediately before being cooked. Suiting customer preference, this practice makes the seafood higher in quality and better in taste. The prevalence of cultural beliefs and consumer standards helps to drive the demand for the live food fish trade.

Fish can also be collected in ways that do not injure them such as in a seine net or by placing an electric current into the water. Such techniques are used most often by researchers for observation and study but are also used by those who collect fish for the aquarium trade. There are several organizations devoted to improving the methods of collecting, handling, transporting, exporting and farming of wild and domesticated live food fish, as well as freshwater and marine tropical fish destined for aquaria.

4.3. Other products

Pearls and mother-of-pearl are valued for their lustre. Traditional methods of pearl hunting are now virtually extinct. Sharkskin and rayskin which are covered with, in effect, tiny teeth (dermal denticles) were used for the purposes that sandpaper currently is. These skins are also used to make leather. Sharkskin leather is used in the manufacture of hilts of traditional Japanese swords.

Sea horse, star fish, sea urchin and sea cucumber are used in traditional Chinese medicine. Tyrian purple is a pigment made from marine snails Murex brandaris and Murex trunculus. Sepia is a pigment made from the inky secretions of cuttlefish. Fish glue is made by boiling the skin, bones and swim bladders of fish. Fish glue has long been valued for its use in all manner of products from illuminated manuscript to the Mongoloan war bow. Isinglass is a substance obtained from the swim bladders of fish (especially sturgeon), it is used for the clarification of wine and beer. Fish emulsion is a fertilizer emulsion that is produced from the fluid remains of fish processed for fish oil and fish meal industrially.




Yudi Wahyudin, S.Pi., M.Si.
Direktur Institute for Applied Sustainable Development (IASD)
Jl. Bhayangkara I No.26, Sindangbarang, Bogor-16117, INDONESIA
Telp. 0062 251 8422735
Fax. 0062 251 8422735

Friday, January 30, 2009

KEHIDUPAN ADALAH PERUBAHAN


Kehidupan adalah perubahan, dimana pertumbuhan adalah pilihan sifatnya, sehingga setiap perubahan dan pertumbuhan tersebut haruslah dipilih dengan bijaksana (Karen Kaiser Clark).

Pertumbuhan merupakan fungsi kehidupan, dimana terkadang pertumbuhan tersebut dapat berbuah positif, stagnan, bahkan terkadang juga negatif. Semua tergantung kepada kita dalam mencari pilihan terbaik agar pertumbuhan itu selalu bersifat positif.

Kebangkitan dan keruntuhan suatu bangsa tergantung pada sikap dan tindakan mereka sendiri. Allah SWT berfirman :

”Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (QS.Ar-Ra‘d: 11).

Suatu perubahan akan mungkin terjadi dan bernilai positif bilamana perubahan tersebut benar-benar diusahakan oleh segenap pelaku perubahan. Margaret Mead (1901-1978) pernah menyebutkan bahwa jangan pernah meragukan bahwa sebuah kelompok kecil dari warga-warga yang penuh pertimbangan, berkomitmen, dapat mengubah dunia, karena memang, sedari dulu juga demikian.

Sungguh segala sesuatu itu harus diusahakan. Dalam konteks ini, konsep "DUIT" - Doa, Usaha, Ikhtiar dan Tawakal, sepertinya harus selalu tertanam dalam diri setiap insan yang bernama manusia. Manusia memang harus selalu berdoa kepada Penciptanya, karena Sang Maha Pencipta juga menjanjikan untuk memenuhi segenap doa yang dimunajatkan seorang hamba kepada-Nya. Setelah berdoa, maka setiap manusia wajib mempunyai usaha agar cita-cita hidupnya dapat dijembatani untuk diwujudkan dan usaha itu harus diupayakan agar dapat memberi manfaat positif bagi diri, keluarga dan lingkungan sekitarnya. Dan, sebagai seorang hamba, maka kewajiban dia untuk selalu bertawakal, ikhlas dan bersyukur atas nikmat yang diperolehnya.

Agaknya konsep 3 M yang dipopulerkan seorang Aa Gym cukup memberikan makna besar untuk segera diimplementasikan. Mulailah perubahan itu dari hal yang kecil-kecil, mulailah dari diri sendiri dan mulailah saat ini juga. Semoga setiap perubahan yang diambil adalah merupakan pilihan bijak yang diridhoi Allah SWT.

RELA HATI



RELA HATI adalah sebuah ajakan dari seorang suami, ayah dan juga kerabat dekat untuk senantiasa menanamkan kesabaran dan keikhlasan. Penulis berusaha menyerukan beberapa hal krusial kepada segenap saudara dan keluarga beserta rombongan untuk senantiasa bersyukur dan bersabar dengan apa yang disebut RELA HATI.

Tulisan ini sendiri telah berumur lebih dari 40 tahun sejak dirumuskan sendiri oleh penulisnya. Selamat memaknai dengan penuh kerelaan hati untuk menerima isi yang tersurat dan tersirat dalam tulisan tersebut. RELA HATI ditulis pada ayah mertuaku bernama Bapak DAUD pada tanggal 24 Desember 1968 atau 1 Syawal 1388 H.

Prinsip RELA HATI ditulis sebagai bentuk perenungan diri dan kritik sang Penulis terhadap keadaan lingkungan sekitar (baca: masyarakat) yang selalu ingin mengedepankan kepentingan diri sendiri dan golongannya, sehingga muncul kecenderungan untuk saling sikat, saling gosok, saling tekan, saling rebut dan yang lebih utama lagi adalah kecenderungan sifat tidak pernah puas dan selalu memaksakan diri untuk segera memenuhi kepuasannya. Pada gilirannya, berbagai macam jalan kerap ditempuh untuk segera mewujudkan keinginan tersebut tanpa menimbang apakah jalan yang diambil itu benar atau salah.

Berikut ini adalah petikan kata hati, RELA HATI tersebut :


Assalamu’alakum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Khusus kepada keluarga dan rombongan, mari mari mari mari kita bersama-sama menguji diri :

1.
Harus jujur di segala bidang
2.
Harus berpikir

3.
Jangan berpikir untuk mendatangkan uang banyak

4.
Jangan berpikir untuk memperkaya diri sendiri

5.
Jangan aneh sama orang kaya

6.
Mari berjuang bersama

7.
Karena manusia cuman punya bisa

8.
Tuhanlah yang punya kuasa.


Semoga dapat menjadi renungan bersama dan selalu sadar diri bahwa manusia sifatnya hanya berkeinginan, akan tetapi kehendak Yang Maha Kuasa - lah selaku Dzat Yang Maha Merajai yang mutlak dapat terjadi.

Lencana Facebook

Profil Facebook Yudi Wahyudin