Oleh:
Direktur Institute for Applied Sustainable Development (IASD)
Sektor kelautan dan perikanan dalam kurun waktu sewindu terakhir ini telah menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional dan diharapkan dapat menjadi prime mover pertumbuhan ekonomi nasional. Beberapa program pembangunan kelautan dan perikanan telah diupayakan, diantaranya melalui program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, gerbang mina bahari, sampai pada program revitalisasi kelautan dan perikanan.
Perikanan merupakan tulang punggung pertama pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia. Sektor ini selain memberikan kontribusi paling besar terhadap pembangunan wilayah pesisir, di lain sisi juga mampu menyerap banyak tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja terbesar diberikan oleh kegiatan perikanan tangkap, baik pada skala subsisten maupun industri. Penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 250 juta jiwa, 60 persen diantaranya tinggal di wilayah pesisir dan 90 persen penduduk yang tinggal di wilayah pesisir bergerak dan berusaha di sektor perikanan. Oleh karena itu, peran pemerintah sebagai service provider dan service arranger harus lebih dioptimalkan dan memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat pesisir di Indonesia.
Pengembangan perikanan yang telah berjalan selama ini seyogyanya memerlukan suatu kebijakan pengelolaan yang tepat dan sesuai dengan karakteristik sumberdaya perikanan itu sendiri, seperti daerah penangkapan, jenis sumberdaya ikan serta keragaman pelaku bisnis perikanan dan armada penangkapan ikan di wilayah Indonesia. Selama ini pemanfaatan sumberdaya ikan yang dilakukan oleh sebagian besar nelayan lebih ditekankan pada kepentingan jangka pendek dengan besaran manfaat yang tidak terlalu besar dibandingkan dengan nilai jangka panjang.
Umumnya nelayan berlomba-lomba untuk dapat menangkap ikan lebih banyak (high volume) agar dapat memperoleh manfaat yang lebih besar, sehingga menstimulasi adanya upaya peningkatan teknologi penangkapan. Di sisi lain, nelayan yang menangkap ikan semakin bertambah jumlahnya, sehingga semakin menstimulasi munculnya persaingan dalam mendapatkan hasil tangkapan. Dampaknya tekanan terhadap sumberdaya ikan semakin besar, sehingga menimbulkan degradasi sumberdaya ikan secara besar-besaran. Fenomena ini terjadi di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Perairan Laut Jawa dan Selat Sundang serta Perairan Selat Malaka. Di kedua wilayah perairan ini diduga telah mengalami lebih tangkap (over-fishing) yang salah satunya diduga akibat semakin banyaknya nelayan yang menangkap ikan di perairan ini.
Berkembangnya aktivitas penangkapan ikan di perairan Indonesia memberikan stimulans kepada pada investor perikanan, baik pada industri perikanan skala kecil, menengah maupun besar. Perkembangan investasi perikanan semakin membuka peluang penyerapan tenaga kerja, sehingga memudahkan pemerintah untuk menurunkan tingkat pengangguran di Indonesia. Berkembangnya sektor ini juga memberikan stimulans kepada investor lain untuk membuka peluang investasi di bidang sarana dan prasarana produksi seperti perdagangan perlengkapan melaut, industri perkapalan, pengolahan, dan sebagainya, termasuk penyediaan bahan bakar minyak.
Investasi dalam penyediaan BBM merupakan salah satu investasi turunan dari perkembangan perikanan tangkap. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50 persen dari biaya ekstraksi per unit upaya adalah biaya yang dikeluarkan untuk BBM, sehingga dapat dibayangkan berapa besar pengeluaran nelayan yang harus disiapkan untuk penyediaan kebutuhan BBM ini. Sebagai ilustrasi, jika rata-rata nelayan Jawa Barat menggunakan bahan bakar minyak sebanyak 5 liter saja per kali upaya, sedangkan jumlah armada perikanan di wilayah ini mencapai 3.000 unit dengan tingkat upaya per tahun rata-rata sebanyak 160 unit upaya, maka kebutuhan BBM selama setahun di Jawa Barat dapat mencapai 2.400.000 liter atau sebanyak 200.000 liter per bulan atau sekitar 6.666,67 liter per hari.
Ironisnya, harga BBM pernah mengalami kenaikan hingga berlipat-lipat, kendati kemudian turun kembali. Dampak kenaikan BBM sangat luar biasa, karena kenaikan ini sangat memukul investasi perikanan, terlebih industri perikanan skala kecil. Naiknya harga BBM berkorelasi positif terhadap peningkatan biaya ekstraksi per unit upaya. Selain itu, kenaikan harga BBM ini juga menstimulans harga barang-barang olahan dan alat-alat penangkapan untuk naik. Akibatnya, biaya ekstaksi per unit upaya menjadi semakin membengkak. Bengkaknya biaya ekstraksi ini tidak dibarengi dengan kenaikan harga dan volume tangkapan ikan, sehingga dapatlah dibayangkan berapa rupiah yang dapat diperoleh nelayan untuk dibawa ke rumah dan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka. Selain itu, bukan tidak mungkin nelayan yang mempunyai keterbatasan modal terancam tidak melaut atau bahkan gulung tikar.
Hilangnya kesempatan melaut dan berhentinya usaha perikanan memberikan dampak terhadap munculnya peningkatan pengangguran dan kemiskinan, terutama keluarga nelayan. Akibatnya, ancaman munculnya kerawanan pangan dan kerawanan sosial menjadi lebih terbuka. Ancaman ini seyogyanya diantisipasi oleh pihak terkait. Di sinilah peran pemerintah selaku institusi formal untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam rangka menanggulangi permasalahan yang ada. Pemerintah seyogyanya menyiapkan beberapa instrumen solusi dampak kenaikan BBM bagi aktivitas nelayan. Dalam hal ini, penulis menyarankan beberapa langkah yang sedianya dilakukan oleh pemerintah untuk membuat instrumen solusi tersebut.
Pertama, mengidentifikasi sentra-sentra produksi perikanan yang terkena dampak perubahan harga BBM. Identifikasi ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana, kenaikan BBM berdampak pada produksi perikanan, karena produksi sangat berkaitan dengan input produksi yang dilakukan, seperti tingkat upaya dan biaya ekstraksi. Seperti telah disampaikan, bahwa besarnya biaya input produksi dari faktor BBM adalah sebesar 50 persen ditambah dampak turunan terhadap penyediaan ransum yang biasanya juga berkorelasi positif dengan kenaikan harga BBM. Hasil identifikasi dapat digunakan sebagai bahan instrumen solusi darimana pemerintah harus memulai penanggulangan dampak ini.
Kedua, mengidentifikasi peluang-peluang usaha alternatif yang dapat diadopsi masyarakat nelayan. Identifikasi ini dilakukan untuk mengetahui adakah peluang usaha lain yang dapat dilakukan jika hanya jika aktivitas perikanan yang diusahakan sudah tidak memungkinkan lagi akibat tinggi biaya input produksi (high cost) dan menyebabkan in-efficiency usaha. Peluang usaha alternatif harus dirancang dengan tidak menimbulkan permasalahan baru, sehingga perlu dikaji secara komprehensif dari mulai kajian aspek produksi, pasca produksi, distribusi dan pemasaran hasil produksinya.
Ketiga, menyusun rencana aksi penanggulangan dampak kenaikan BBM terdapat aktivitas nelayan secara aspiratif. Rencana aksi harus disusun berdasarkan skema jangka pendek (crash program) dan jangka panjang. Skema jangka pendek diberikan agar masyarakat nelayan dapat segera keluar dari permasalahan dasar yang melilitnya sekarang, yaitu tidak bisa melaut, tidak ada nafkah, terancam pangan dan rawan sosial. Sepertinya, skema ini telah diangkat secara nasional melalui pembagian dana kompensasi BBM, kendati masih banyak persoalan yang timbul kemudian akibat proses penentuan sasarannya tidak transparan dan terkesan pilih kasih. Skema jangka panjang disusun untuk menghasilkan program yang lebih mendidik dan mengantarkan nelayan menjadi lebih suitable terhadap berbagai persoalan ke depan seperti halnya kenaikan BBM ini. Program alih profesi atau alih teknologi dapat menjadi salah satu model yang dapat diadopsi dalam skema jangka panjang ini. Alih profesi diperuntukkan bagi nelayan yang memang tidak mampu keluar dari persoalan pada tataran skema jangka pendek, sedangkan alih teknologi diperuntukkan bagi nelayan yang mulai bangkit melalui skema jangka pendek kendati masih terseok-seok. Dalam hal ini, pemerintah harus bisa mencari alternatif teknologi penangkapan yang efisien tetapi tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya ikan. Efisien dalam hal ini lebih ditekankan pada aspek biaya input produksi (cost of extraction per unit effort).
Penyusunan dan pelaksanaan rencana aksi harus dilakukan secara aspiratif dan partisipatif. Hal ini dilakukan agar terbangun rasa memiliki (sense of belonging) nelayan terhadap kegiatan disamping kegiatannya menjadi lebih adaptif dan mengena pada sasaran. Pembangunan image nelayan ini harus dimulai sejak awal melalui beragam pelibatan nelayan dalam setiap kegiatan secara sekuensial, seperti pada kegiatan persiapan, pelaksanaan, monitoring sampai evaluasi kegiatan. Metode pelaksanaan kegiatan yang digunakan seyogyanya dilakukan melalui sosialisasi dan partisipasi aktif nelayan serta didukung oleh pemberian stimulans kegiatan yang diarahkan pada kemandirian program serta monitoring dan evaluasi yang juga melibatkan partisipasi aktif nelayan.
Pada bagian penutup tulisan ini, sekali lagi penulis sampaikan bahwa kenaikan harga BBM sangat besar dampaknya terhadap sektor perikanan, khususnya perikanan tangkap. Bahkan pada tataran tertentu dapat membunuh aktivitas nelayan dan menimbulkan kerawanan pangan dan sosial. Oleh karena itu, pemerintah harus mengambil peran dan bekerja lebih ekstra melalui berbagai instrumen solusi. Dalam hal ini penulis menyarankan tiga hal dalam rangka penyusunan instrumen, yaitu (i) melakukan identifikasi sentra produksi perikanan, (ii) identifikasi peluang usaha alternatif dan (iii) menyusun rencana aksi penanggulangan dampak secara terpadu dan aspiratif. Kunci keberhasilan pelaksanaan rencana aksi adalah pelibatan masyarakat dalam setiap kegiatan.
Institute for Applied Sustainable Development (IASD)
Jl. Bhayangkara I No.26, Sindangbarang, Bogor-16117, INDONESIA
Telp. 0062 251 8422735
Fax. 0062 251 8422735
HP. 0062 812 11000 90
No comments:
Post a Comment